Menifestasi klinik Penyakit Difteri:
Ini adalah penyakit
saluran nafas atas yang sanagt menular, yag disebabkan oleh bakteri Corynobacterium diphtheriae, kuman yang bersifat Gram positif. Manusia
adalah satu-satunya penjamu bagi kuman difetri ini.
Penyakit difteri ditandai dengan gejalah klinik
yang tidak terlalu khas, hanya ada demam yang tidak terlalu tinggi, dan gejalah
yang lain baru akan menyusul beberapa hari kemudian. Infeksi kuman
difteri bisa dalam bentuk infeksi kulit, infeksi vagina, infeksi selaput lendir
mata konjungtiva dan infeksi di telinga.
Gejala yang serius
berupa pembengkakan sekitar leher “bull neck” seperti leher lembu yang
disertai terbentuknya selaput tipis warna abu-abu (pseudomembrane) yang akan menutupi saluran jalan pernafasan, sehingga terjadi
sesak nafas. Gejala khas penyakit ini adalah reaksi inflamsi selaput lendir
saluran nafas atas, yang meliputi daerah faring dan seringkali juga bagian
belakang saluran hidung, larings dan saluran nafas trakhea. Terbentuknya
selaput berwarna abu-abu (pseudomembrane) didaerah nasofaring sehingga akan menutup
saluran pernafasan, yang bisa menyebabkan sesak nafas dan meninggal karena
kekurangan oksigen.
Komplikasi lain adalah terjadinya kerusakan
organ vital lainnya karena racun eksotoksin yang dilepaskan oleh kuman ini akan
menyebar dan terserap sampai ke otot jantung, sistim persarafan dan ginjal,
sehingga terjadi kerusakan pada organ vital tersebut dan menyebabkan kematian.
Dalam sejarah, penyakit difteri telah pernah
dicatat oleh Hipocrates pada abad ke 5 sebelum masehi, juga pada tahun 1500
sebelum masehi di Mesir.
Epidemiologi
Manusia adalah
satu-satunya penjamu bagi kuman C diphtheriae ini, bisa
menyebar dengan cara droplet
infection atau melalui
percikan ludah sewaktu berbicara, mencium, atau kontak langsung dengan
luka di kulit yang mengandung kuman ini.
Masa inkubasi kuman antara 2 hingga 7 hari atau
bisa lebih lama, kemudian terjadi gejalah penyakit difteri ini. Pada mereka
yang tidak diobati, maka kuman ini bisa ditemukan antara 2 hingga 6 minggu
setelah terjadi infeksi, kuman bisa ditemukan di hidung, tenggorokan, di mata
dan luka di kulit.
Penularan kuman juga bisa terjadi dari mereka
yang baru kembali dari daerah endemik penyakit difteri, misalnya turis yang
pulang ke nagaranya dan menginfeksi orang dilingkungannya, karena kontak
langsung dengan cara-cara yang disebutkan diatas tadi.
Penyakit difteri dalam
bentuk manifestasi yang berat biasanya terjadi pada mereka yang tidak kebal,
yaitu mereka yang memang belum di imunisasi terhadap penyakit difteri, atau
yang mendapatkan imunisasi terhadap difteri yang tidak lengkap. Sedangkan bagi
mereka yang telah kebal, biasanya hanya menderita gejalah ringan, seperti nyeri
tenggorokan yang ringan hingga sedang atau menjadi pembawa kuman yang tanpa
gejalah (asymptomatic carrier)
Komplikasi Penyakit Difteri
Hal utama dalam hal komplikasi adalah pengaruh
toksin yang dikeluarkkan oleh kuman difteri, yang berpengaruh terhadap penyakit
yang telah ada, dan juga terhadap organ tubuh vital lainnya. Kematian umumnya
karena efek racun ini terhadap organ vital seperti jantung dan saraf.
Bahaya yang langsung
adalah adanya pseudomembran atau selaput yang akan menutupi jalan nafas bagian
atas, sehingga menyebabkan penderitanya menjadi sesak, tidak bisa bernafas,
menjadi warna biru atau cyanosis, satu-satunya cara untuk mengatasi bahaya ini
adalah dengan membuat trakheotomi, yaitu dengan melobangi leher
bagian depan hingga ke tenggorokan kemudian dipasang pipa untuk menyalurkan
oksigen ke paru-paru, yang kemudian disalurkan keseluruh tubuh kita.
Komplikasi yang paling serius adalah bila terjadi kerusakan yang
ditimbulkan oleh racun bakteri difteri pada otot jantung miokardium, yang bisa
terjadi pada hari ke 3 atau hari ke 7 setelah sakit, ini yang sering
menimbulkan kematian pada penderita sakit difteri.
Tatalaksana Penyakit Difteri
Pengobatan Penyakit Difteri :
- Untuk kasus akut, biasanya diberikan anti-toksin dengan dosis antara 20.000 hingga 120.000 unit, tergantung
derajat berat penyakit dan lama penyakit itu telah berlangsung, biasanya
diberikan secara intravena atau intramuskular.
- Juga diberikan antibiotika golongan penisilin dan erithromisin, dengan tujuan untuk
membasmi kuman Cdiphtheriae, sehingga nanti tidak menjadi
carrier atau pembawa kuman difteri dan tidak menularkan kepada orang sekitar
lingkungannya. Karena 2 hingga 4 minggu mereka masih mempunyai
kemungkinan menularkan kuman difteri bila mereka tidak dioabati dengan
antibiotika dengan baik.
- Imunisasi aktif –
dengan memakai Vaksin yang mengandung difteri toksoid sebagai vaksin
anti Difteri
Sejarah perkembangan vaksin Difteri Toksoid:
Beberapa puluh tahun
sebelumnya, orang memakai gabungan toksin-antitoksin difteri untuk melakukanimunisasi pasif untuk
mencegah penyakit difteri, dan gabungan toksin-antitoksin ini memberikan angka
keberhasilan hingga 85%, ini terjadi di Amerika pada tahun 1914.
Kemudian Ramon mulai membuat difteri toksoid, yaitu dengan mencampurkan toksin difteri dengan sejumlah kecil
formalin, untuk menghilangkan efek toksik dari toksin difteri ini, namun
mempertahankan efek imunogeniknya untuk merangsang sistim pertahanan tubuh
memproduksi antibody melawan kuman difteri, dan toksoid ini memberikan hasil
yang baik dalam pencegahan penyakit difetri.
Pada tahun 1926, Glenny dkk menemukan bahwa difteri toksoid yang digabungkan dengan
logam aluminium dan menjadi aluminium precipitated toksoid akan mempunyai efek imunogenik yang jauh lebih baik
daripada hanya toksoid saja, sehingga mulai saat itu hingga sekarang, maka
vaksin anti difteri yang kita pakai adalah bentuk aluminium precipitated difteri toksoid
Vaksin Kombinasi Bersama Difteri Toksoid
Sejak tahun 1940 an,
maka mulai dibuat vaksin kombo, yaitu gabungan antara vaksin difteri
toksoid, dengan vaksin tetanus toksoid dan vaksin pertusis yang jenis sel utuh
(whole cell), menjadi vaksin kombo pertama yang kita kenal didunia vaksinasi,
yaitu vaksin DTwP yang masih kita pergunakan hingga saat ini.
Vaksin DTwP ini juga mengalami perkembangan
lebih lanjut, karena sekarang vaksin kombo ini digabungkan dengan garam dari
logam aluminium phosphate, yang memberikan efek imunogenik yang jauh
lebih baik, sehingga dengan dosis kecil vaksin bisa mencapai efek yang
dinginkan, yaitu meningkatkan kemampuan antigen vaksin untuk merangsang sistim
pertahanan tubuh memproduksi antibody.
Titer antibody
yang dianggap adekuate untuk mencegah penyakit difteri (setelah medapat 3 dosis vaksin difteri
toksoid) adalah : > 0.01 IU / mL.
Jadwal pemberian vaksin difteri toksoid :
Yaitu mulai diberikan sejak bayi telah berusia 2
bulan, kamudian dosis ke2 pada saat usia mencapai 4 bulan dan dosis ke3 pada
usia 6 bulan. Dosis ke 4 pada saat bayi telah berusia antara 15 – 18 bulan.
Dosis terakhir, yaitu dosis ke5 diberikan saat anak mulai masuk sekolah sebelum
berusia 7 tahun.
Bila dosis ke4 baru diberikan pada saat anak telah
berusia 4 tahun atau lebih, maka dosis ke5 yang seharusnya diberikan saat anak
sebelum berusia 7, sudah tidak perlu diberikan lagi.
Perhatikan jarak interval antara suntikan dosis
ke3 dan dosis ke4 harus berjarak minimal 6 bulan dari suntikan dosis ke3.
Perhatian:
Bagi mereka yang baru
sembuh dari atau pernah menderita penyakit difteri, maka vaksinasi anti
difteri lengkap tetap harus diberikan untuk melindungi
dari infeksi yang akan datang. Karena pernah menderita penyakit difteri
tidak menjamin akan memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit
tersebut.
No comments:
Post a Comment